Sabtu, 04 Desember 2010

Pleidoi I

Hidup mesti berubah. Itu merupakan hakekat. Hidup mengaliri kepada kita banyak pelajaran berharga. Ada senang, susah, gembira, kecewa, putus asa, rindu, bahagia, dan berjuta rasa lain yang membuat hidup semakin semarak. Terkadang kita menjalani begitu saja hidup yang demikian. Tak ada refleksi dan kita lupa untuk belajar maupun bersyukur.

Aku mungkin "Asmat" dalam masyarakat modern ibukota. Aksesku terbatas dan duniaku pun tak luas. Saat mereka bahagia dalam kategori modern ibukota, aku tak sekalipun iri karena aku juga memiliki pilihan untuk merasa bahagia. Bahagia adalah hak yang setiap orang pantas dapatkan.

Aku asing dalam setiap langkah zaman, tetapi aku menyatu dengannya. Kita dengan apapun kondisi maupun latar belakang selalu punya pilihan untuk merasa bahagia. Merasa bahagia itu terlepas dari kategori-kategori, walau kita punya sejuta alasan mengapa merasa bahagia.

Dahulu ayah sering berkata, "Jangan sekedar pandangi langit, jangan berlama-lama mendongakkan kepala ke atas. Lihatlah ke bawah, ada bumi yang kau pijak. Tidak ada apa-apa dilangit selain akan membuatmu merasa sombong".

Ya, tidak ada apa-apa di langit selain awan dan bintang. Hanya ada impian-impian yang kau gantungkan di atas sana. Seringnya kau lupa untuk meraihnya kembali. Kau terpukau sedemikian dalam hingga tak melangkah kemana pun. Aku menunduk dan melihat bumi tempatku berpijak. Itulah hidup yang sedang kujalani saat ini. Aku melihat sekelilingku dan mendapatkan hidup biasa saja tetapi indah. Ada kesedihan yang menggelayut, ada pula kesenangan yang membayang. Semuanya berimbang walau mungkin berubah menjadi berat sebelah. Namun semuanya tergantung bagaimana kau memandang hidup dan merasa bersyukur.

Aku mencintai hidupku yang demikian asingnya. Aku bangga menjadi "Asmat" yang terbatas dan terisolir. Tak apa-apa. Aku tahu keterbatasan dan ketidakmampuan saat ini yang melilit bukan karena aku tak mampu, melainkan belum saatnya. Belum saatnya aku untuk mencapai langit. Aku mesti mempersiapkan banyak bekal agar nanti disaat aku meraih semua mimpiku, aku tak akan lupa dari mana kuberasal dan terus merasa bersyukur. Apapun itu aku percaya pada diriku sendiri.

Rabu, 20 Oktober 2010

Memanusiakan Sejarah: Refleksi paska Gerakan 30 September 1965*

Paska Gerakan 30 September 1965
Tanggal 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia disiarkan melakukan pembunuhan terhadap beberapa petinggi ABRI yang dianggap sebagai penghalang rencana mereka untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Mereka menyebarkan isu "Dewan Jenderal" bahwa akan ada pemberontakan yang dilakukan para jenderal untuk merebut kedaulatan Negara dibawah pimpinan Soekarno. Namun, hal ini dapat segera ditumpas oleh Soeharto dalam tempo singkat. Media massa yang berafiliasi kepada Militer merebut perhatian publik segera setelah media massa yang berhaluan PKI dibekukan. Berita yang tersiar PKI akan melakukan kudeta, PKI melakukan penyiksaan dan pembunuhan secara keji terhadap beberapa Jenderal di Lubang Buaya, PKI melawan Pancasila dan hendak menggantinya dengan ideologi Komunis. Serta berbagai pemberitaan seputar PKI yang memicu kemarahan rakyat banyak disamping kondisi negara yang sedang mengalami krisis ekonomi dan berakhir pada kekacauan yang ada dimasyarakat-yang terburuk adalah pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap sebagai PKI.
Pembantaian besar-besaran terjadi beberapa minggu setelah peristiwa tanggal 30 September. Konsentrasi massa terbanyak ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali walau dibeberapa tempat lain juga terjadi pembantaian serupa. Beberapa data mensinyalir angka-angka fantastis seputar mereka yang dicap sebagai PKI kemudian dibunuh. Ada yang menyebut total korban pembantaian paska 30 September 78.500, 180.000, hingga mencapai 2 juta orang. Berbagai tempat yang menjadi kuburan massal tersebar dibeberapa wilayah seperti di Indramayu, Klaten, Banyuwangi di pulau Jawa dan di Jembrana, Buleleng, dan Tabanan di Bali. Hal yang menarik adalah pembantaian yang terjadi dilakukan tidak hanya oleh alat negara yaitu militer melainkan juga turut serta kelompok masyarakat tertentu. Selain itu tidak seperti pembantaian yang dilakukan oleh Nazi dibawah Hitler lewat pembangunan kamp konsentrasi, kamar gas, dan sebagainya. Pembantaian yang terjadi di Indonesia paska 30 September tidak butuh senjata berteknologi canggih, kamp konsentrasi dan lain sebagainya. Cukup dengan menebarkan teror dan memunculkan konflik-konflik lama yang terkelola dimasyarakat dan dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Soeharto dan pihak-pihak yang bersejalan dengannya. Media turut serta memancing emosi publik lewat pemberitaan-pemberitaan hiperbolis seperti sebelum dibunuh, para Jenderal disiksa, dimutilasi kelaminnya oleh Gerwani-kelompok perempuan yang bersisian dengan PKI. Padahal beberapa ahli yang memeriksa jenazah para Jenderal tidak menemukan adanya luka sayatan yang dimaksud tetapi hal ini ditutup-tutupi oleh Militer.
Apa kiranya yang membuat tahun-tahun paska 30 September begitu mencekam, orang-orang memburu mereka yang dicap komunis dan kemudian dibunuh? Krisis ekonomi yang membuat kehidupan rakyat sulit lalu ditambah dengan peristiwa pembunuhan para Jenderal menempatkan PKI sebagai kambing hitam yang memsti dipersalahkan dan menanggung risiko kemarahan publik. Sehingga tak heran jika pembantaian terhadap PKI merupakan puncak kegeraman yang sedang dialami rakyat. Mereka yang dituduh PKI dikejar, dikeroyok, diculik, bahkan dibunuh. Situasi yang terjadi tereduksi menjadi kondisi bunuh atau dibunuh, kill or be killed. Pandangan Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain mendapat legitimasinya saat itu. Militer yang seharusnya menjadi pelindung warganegara justru dalang dibalik kondisi kaotik tersebut. Militer melegalkan "perburuan" terhadap siapa saja yang dicap komunis. Alasan yang mengemuka adalah Komunis-PKI mengancam kedaulatan negara, mencoba mengganti ideologi Pancasila, anti agama, dan sebagainya. Siapapun yang dituduh PKI berkonsekuensi dibunuh walau hal tersebut hanya sekedar isu. Keluarga yang bersangkutan menerima kutukan turun temurun. Dihina, dinistakan, dijadikan sasaran kemarahan warga, diabaikan hak-haknya sebagai warganegara. Stigmatisasi komunis membutakan mata kita bahwa mereka juga sama-sama manusia. Punya hak dan kebebasan yang sama. Tapi diingkari dengan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.
Soeharto mendapatkan apa yang didambanya; menjadi penguasa. Dimulailah rezim totaliter yang mengabaikan prinsip-prinsip humanitas. Sejarah dibentuk sedemikian rupa. Berubah wajah menjadi sekedar cerita kepahlawanan militer terhadap komunis. Dan sialnya kita ikut-ikutan lupa atau mungkin tak ingin berpikir pernah ada kasus pembantaian luar biasa terhadapa sesama manusia yang dilakukan atas nama kedaulatan rakyat. Ada manusia-manusia yang menjadi korban, sama seperti kita. Tetapi mereka bungkam dan diingkari.

Totalitarianisme ala Soeharto
Didalam bukunya, Memahami Negativitas, Budi Hardiman mencoba mengurai diskursus antara massa, terror, dan trauma. Mengapa muncul stigmatisasi terhadap the other? The other merupakan pihak yang juga hidup diantara kita tetapi mereka terdeformasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah pantas dieksklusikan dari kekitaan yang menganggap diri normal dan mayoritas pasti benar, sehingga layak dihilangkan, diingkari eksistensinya. Dalam pandangan Arendt, pihak yang dikambinghitamkan bisa masuk kategori the other. Didalam ruang sosial kita secara seenaknya menyingkirkan mereka yang dicap tidak sama dengan kita untuk keluar dari wilayah sosial yang sebelumnya baik kita dan mereka berada bersama didalamnya. Kekitaan punya dua makna penting yang mesti dicermati. Pertama, kekitaan melibatkan intersubjektivitas antara aku dan kamu yang tidak melenyapkan ruang perbedaan didalamnya. Kedua, kekitaan tak bergerak kearah pengenalan intersubjektivitas. Kekitaan model kedua melahirkan diskriminasi yang berujung pada stigma yang menegasikan eksistensi pihak lain-dalam hal ini the other. Kita tidak membiarkan hadirnya kebebasan terhadap yang lain untuk berbeda karena didalam pikiran kita sendiri ada semacam ketakutan bahwa diri kita akan berbeda seiring membiarkan orang lain berbeda.
Lalu bagaimana memahami hal tersebut terkait dengan konteks pembantaian massal paska 30 September?
Hannah Arendt membedakan antara apolitik dengan politik. Apolitik merupakan manusia yang terkonstruksi dari hasil kesadaran, bukan manusia yang konkret. Sementara politik berlangsung diantara manusia-manusia maka politik berada diluar manusia sehingga tidak ada substansi politis. Apolitik dipahami sebagai sesuatu yang singular, ideal, homogen. Sedangkan politik merupakan pluralitas yang berkelindan disekeliling manusia. Politik dalam pandangan Arendt bukanlah relasi antara yang berkuasa dan yang dikuasai melainkan dipahami sebagai suatu kebebasan yang tidak hanya membiarkan pihak lain berbeda, melainkan juga memberanikan diri untuk berbeda. Politik adalah kekitaan yang melebur dalam intersubjektivitas. Permasalahannya apolitik disalahpahami sebagai yang politik dan memunculkan dominasi-totalitarianisme.
Soeharto membaca dengan cermat kekitaan kita yang ada dimasyarakat dan memanfaatkannya untuk mendominasi berbagai pihak yang asalinya berbeda, plural kedalam suatu homogenitas tertentu. Politik yang seharusnya dipahami dalam bingkai kebebasan dipergunakan sebagai alat untuk menguasai. Rakyat tidak diperlakukan sebagai warganegara yang memiliki hak sama melainkan sebagai kumpulan massa yang digiring menuju homogenitas lewat ideologi Pancasila, terror dan horror yang tak lain demi melegitimasi kekuasaannya. Berbagai isu seputar Komunisme dibuat sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan, kecemasan diantara masyarakat yang berujung pada kategori bunuh atau dibunuh. Massa tak ubahnya mesin-mesin perang untuk menggilas pihak lain dan mendorong pada homogenitas kekuasaan dibawah Soeharto. Pembantaian yang terjadi paska 30 September menjadi inisiasi bagi keberlangsungan suatu rezim. Siapapun yang tak sama mesti disingkirkan, apapun caranya. Intersubjektivas dalam kekitaan yang semestinya dapat membuka ruang komunikasi diantara kita yang berbeda terabaikan. Stigmatisasi merebak kesegala penjuru dan terror merajalela, Soeharto jumawa. Militer yang berada dibawah kendalinya menjadi perpanjangan tangan kuasa untuk menindas the other-dalam hal ini PKI.

Rehabilitasi bagi The Other
Pembantaian yang dilakukan secara masif paska 30 September menimbulkan luka yang demikian dalam bagi siapapun yang mengalaminya. Kategorisasi Komunis dan Non Komunis sungguh mereduksi nilai manusia serta kebebasannya. Saya teringat dengan ibu Nani Nurani, eks-tapol yang merupakan penari pada era 60-an namun dituduh Gerwani dan dipenjarakan selama sekian tahun. Hak-haknya dirampas sebagai warga negara. Selama dibui tak pernah ada pengadilan yang dilaksanakan terhadap dirinya. Saat dirinya keluar penjara pun cap sebagai eks tapol yang hampir selalu berkorelasi dengan komunis tak dapat hilang begitu saja. Ia tak diperkenankan memiliki KTP seumur hidup. Nasib ibu Nani Nurani mungkin masih lebih baik ketimbang teman-teman perempuan sesama tapol yang dicap Gerwani. Diantara mereka ada yang dilecehkan, diperkosa, disiksa, dan berbagai bentuk kekejian lainnya. Selain itu ada Suswardoyo yang ayahnya ditangkap oleh pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) dan tak pernah tahu bagaimana nasib ayahnya kemudian, hilang bagai ditelan bumi. Padahal ayah Suswardoyo adalah salah seorang pejuang zaman kemerdekaan RI. Hidup Suswardoyo koyak paska cap komunis yang dilekatkan kepada ayahnya. Hidupnya menjadi sebuah kutukan tak berkesudahan. Aksesnya sebagai warganegara yang sama haknya dengan yang lain diabaikan oleh negara dan sosial. Serta masih banyak cerita mengenai para korban yang sebagian bungkam, tak didengar dan diabaikan. Semua hal demikian begitu mengerikan untuk dirangkai menjadi cerita. Begitu banyak trauma yang mesti dirasakan kembali oleh para korban.
Reformasi bergulir dan rezim Soeharto tumbang digantikan oleh demokrasi. Kebebasan yang sebelumnya dipasung diserukan gaungnya pada saat ini untuk diminta implementasinya kepada para tiap-tiap warganegara. Tetapi selalu ada yang tertinggal dari sejarah. Salah satunya adalah apa yang terjadi paska 30 September 1965. Mereka yang menjadi korban belum sepenuhnya mendapatkan haknya kembali. Pengusutan tuntas hal tersebut begitu sulit dan menjalani proses yang berputar-putar. Para pelaku tidak pernah benar-benar diperkarakan ke pengadilan untuk dihukum sesuai perbuatannya. Hukum menjadi sesuatu yang abnormal jika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang melibatkan para penguasa sebagai pelaku. Sementara itu arus massa bergerak cepat dan kita lupa, tak mau tahu pernah ada peristiwa mengerikan terjadi disekeliling kita. Para korban kembali berteriak digurun pasir, tak ada yang sudi mendengar apalagi menuntut rehabilitasi bagi hak-hak mereka. Pengakuan maaf dari pemerintah pun tak pernah ada. Kita mengendapkan sesuatu yang mestinya kita selesaikan. Sebab hal demikian dapat menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan republik ini.
Arendt secara bijaksana menyodorkan solusi untuk mengakhiri kekejaman yang pernah terjadi atas nama homogenitas, totalitarianisme, yaitu memaafkan dan berjanji untuk tidak berlaku keji kepada rakyat. Sulitkah? Jelas sangat sulit, karena butuh keberanian luar biasa untuk memaafkan mereka yang salah maupun berjanji untuk tidak melakukan hal yang dapat mencederai kemanusiaan kita. Tidak semua orang mampu melakukannya. Namun apa yang ditawarkan Arendt merupakan suatu usaha untuk menjadikan kita berlaku dewasa, memanusiakan sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai kisah heroik orang-orang yang menang, melainkan melihat sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia, baik pelaku maupun korban. Memaafkan berarti merelakan apa yang pernah terjadi dimasa lalu dan kemampuan berjanji menuntut komitmen kepada pihak-pihak terkait untuk tidak mengulangi apa yang terjadi dimasa lalu pada kehidupan dimasa depan. Karena masa depan bukanlah sesuatu yang dapat diraba maka kemampuan berjanji menjadi titik tolakan baru dimana negara menjaga kebebasan dan hak rakyatnya. Hal lain yang tak kalah penting setelah semua tindakan baik itu memaafkan dan berjanji untuk tidak melakukan perbuatan serupa adalah perlu juga dibarengi dengan pengusutan tuntas kasus-kasus yang terjadi dimasa lalu. Para pelaku diseret kemuka hukum dan korban direhabilitasi hak-haknya.




*disampaikan pada diskusi Astina,FIB UI (Kamis 30 September 2010)

Selasa, 19 Oktober 2010

Laskar Pelangi, Paulo Freire, dan Summerhill

Laskar Pelangi dan Pedagogisme Paulo Freire

Pernah membaca salah satu buku dari tetralogi Laskar Pelangi terutama buku pertama? Bagi saya buku tersebut amat menarik bagi kajian filosofis pendidikan. Baiklah, saya akan sedikit memberikan garis besar cerita dari buku pertama. Cerita dari buku pertama, Laskar Pelangi mengenai sebelas murid SD Muhammadiyah yang berada di Belitong. Sekolah tersebut merupakan sekolah tua yang bangunannya hampir doyong. Dikala pagi dan siang, bangunan tersebut difungsikan sebagai sekolah. Namun, disore hari sekolah tersebut beralih fungsi menjadi kandang kambing. Sebelas murid SD tersebut merupakan anak-anak kurang mampu yang berkeinginan untuk dapat mengenyam pendidikan demi masa depan yang absurd. Mereka dibimbing oleh seorang guru berhati luas bernama ibu Muslimah yang hanya berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan yang dijunjung tinggi oleh SD Muhammadiyah.

Apa yang menarik kiranya jika kita menilik dari sudut pandang pendidikan? Coba tengok keteguhan para Laskar Pelangi dalam meneguk sari pati ilmu. Segala keterbatasan seperti keterbatasan finansial tidak membuat mereka menyerah pada keadaan dan kondisi lingkungan yang menekan hingga mereka juga harus membantu nafkah keluarga. Semangat ibu Muslimah juga tak kalah luar biasa dalam membimbing murid-muridnya menuju terang ilmu pengetahuan. Keterbatasan sarana dan prasarana tidak menghalangi mereka-baik guru dan murid- untuk terus mengarungi kehidupan dengan pendidikan yang baik sebagai titik tolakan. Sistem yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan dijalankan oleh Pemerintah Daerah rupanya tidak menyentuh SD Muhammadiyah yang miskin dan terabaikan. Namun, ditengah segala kekurangan dan kondisi lingkungan yang kian mendesak dan membikin putus asa, cita-cita yang digantungkan oleh para Laskar Pelangi tak sekalipun padam. Dengan kegigihan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, cita-cita yang sebelumnya tergantung di awan menjadi berada dalam genggaman.

Lantas apa yang hendak atau dapat dikritisi dari buku tetralogi Laskar Pelangi? Ada sebuah pernyataan menarik dari Paulo Freire mengenai pendidikan yang dominan ada pada masa sekarang ini bahwa pendidikan melayani dominasi dan reproduksi bentuk-bentuk dominasi (Freire:29). Pendidikan sistematis yang lazim ada dan berlangsung selama ini merupakan reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan. Dalam pandangan Freire yang khas Marxist dalam melihat pendidikan terdistorsi pada pengkategorian antara pendidikan borjuis serta pendidikan tandingan yang melawan arus. Dalam deru Kapitalisme yang mereduksi pendidikan menjadi sebatas materi dan keuntungan, Freire mencoba membalikkan kembali makna pendidikan sebagai instrumen pembebasan, sarana untuk mempersoalkan bentuk-bentuk kekuasaan yang mapan. Pendidikan sampai tahap ini bersifat politis sehingga dikatakan pedagogis. Mengapa demikian? Mengapa pendidikan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang politis? Karena pokok persoalannya adalah mengetahui kemana arah aspek politik pendidikan yang dipraktekkan, untuk melayani atau melawan arus yang mendominasi tersebut.

Pendidikan yang membebaskan bagi Freire merupakan pendidikan yang didalamnya terdapat langkah-langkah manipulatif. Pengajar berusaha meyakinkan para peserta dan hal tersebut merupakan fungsi pilihan politik dalam masyarakat politik. Fungsi tersebut jelas antara melayani Kapitalisme atau melawan Kapitalisme. Pendidikan bertalian erat dengan kekuasaan. Dalam struktur masyarakat borjuis kapitalis, pendidikan pekerja adalah pendidikan yang mereproduksi mereka sebagai pekerja dalam masyarakat itu, dan pendidikan borjuis merupakan salah satu alat produksi sehingga membuat kelompok borjuis dominan. Tingkat alienasi dan pengetahuan yang kurang cermat merupakan produk tingkat sosial, politik, ekonomi, dan kultural tempat kelas pekerja harus ditemukan. Sehingga tingkat pengetahuan yang konkret adalah titik berangkat kita bekerja sama dengan kelompok-kelompok populer untuk memperbaiki kondisi mereka sekarang ini. Kaum kelas pekerja harus mengatasi alienasi mereka sendiri, mempertanyakan sendiri alienasi itu (Freire: 54).

Apa kiranya kaitan yang muncul antara pandangan Paulo Freire dengan Laskar Pelangi? Terdapat beberapa titik temu diantara keduanya serta titik persinggungan yang membuat beda. Saya sepakat dengan Freire lewat kerangka Marxist-nya mengenai pendidikan bahwa titik pijakan adalah membuat kelas pekerja atau buruh sadar akan dirinya sendiri yang teralienasi oleh kelompok borjuis. Dalam Laskar Pelangi, para murid SD Muhammadiyah sebagai yang subordinat, yang liyan berusaha mendobrak palang takdir yang mengikat mereka, membuat mereka abai dan terlena bahwa nasib masih bisa diperbaiki. Salah satu caranya adalah dengan pendidikan. Pentingnya pendidikan memang harus disadari oleh masing-masing pihak baik kaum borjuis maupun kelas pekerja. Lewat pendidikan, kelas pekerja memperoleh visi baru bagi kehidupannya. Bagi Freire, pendidikan merupakan sarana terbaik untuk revolusi. Walau demikian Freire menolak menyebut pendidikan sebagai pemicu revolusi. Hal tersebut dapat dipahami karena pendidikan sendiri memiliki dua tujuan, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan, hegemoni Kapitalisme dan melawan segala hegemoni yang mendominasi.

Tetapi, apakah kesadaran kaum pekerja terhadap pendidikan hanya sebatas itu? Sebatas untuk melawan dominasi kaum borjuis? Saya pikir tidak boleh sesederhana itu. Pendidikan memang perlu disadari sebagai sarana untuk melawan arus, namun terlebih dari itu pendidikan adalah untuk hidup itu sendiri. Pendidikan membuka sekat-sekat yang membelenggu manusia, meluaskan visi terhadap hidup. Seperti apa yang diajarkan dan diberikan oleh ibu Muslimah kepada sebelas Laskar Pelangi, ia tak hanya membuka peluang untuk memperbaiki kehidupan para Laskar Pelangi, namun ia juga memberikan harapan tentang hidup yang harus diarungi. Memberikan cinta terhadap ilmu pengetahuan sebagai bekal menyongsong hari esok.

Pertanyaan lanjutan yang muncul kemudian adalah apakah buku Laskar Pelangi bersifat manipulatif dan politis? Atau apakah segala hal yang diajarkan oleh ibu Muslimah kepada murid-muridnya bersifat politis? Ya, setiap hal merupakan tindakan politis. Di dalam politik terdapat hasrat untuk menguasai pihak lain. Tetapi apakah demi revolusi? Belum tentu. Apa yang ibu Muslimah ajarkan kepada sebelas muridnya adalah demi kebaikan. Utopis kah? Naif kah? Melekatkan klaim politis terhadap seseorang maupun masyarakat yang buta terhadap ilmu politik adalah suatu keegoisan tersendiri. Apa yang kita lihat dengan apa yang orang lain lihat seperti Ibu Muslimah lihat belum tentu sama. Hal yang perlu dicermati adalah bukan politis serta manipulatifnya suatu tindakan melainkan tulus tidaknya tindakan yang dijalankan.

Ketidakberdayaan pemerintah untuk merangkul sekolah-sekolah terabaikan seperti SD Muhammadiyah, Belitong lewat tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, memaksa para guru serta murid untuk terus bertahan didalam arus ketidakseimbangan. Pada kondisi ini dipertanyakan apa yang kiranya terjadi dengan anak-anak lucu dan manis ini dimasa depan jika mereka tak lagi mampu mereguk nikmatnya ilmu?

Pendidikan dalam pandangan saya ialah bukanlah sesuatu yang harus menciptakan revolusi maupun bersifat politis demi menguasai apapun. Pendidikan adalah memberikan kesempatan bagi tiap orang untuk mereguk ilmu pengetahuan, kesempatan untuk melakukan apa yang maksimal bagi kehidupannya. Mengajak berpikir dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Terlepas dari pengaruh Kapitalisme maupun Marxisme, pendidikan seharusnya dapat menjadi mercu suar yang menerangi para pelaut dari ketersesatannya pada samudera luas. Pendidikan menjadikan setiap dari kita menjadi bijak dalam menyikapi semua persoalan hidup. Permasalahan apakah pendidikan itu alat perpanjangan tangan Kapitalisme untuk mendominasi atau alat bagi Marxisme untuk melawan arus Kapitalisme, bagi saya segala hal tersebut tidak lah penting selama pendidikan membuka semua ruang bagi Kapitalisme ataupun Marxisme untuk mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya.

Pembebasan ala Summerhill

Ide sederhana Summerhill: memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Namun, apa itu Summerhill? Summerhill adalah sebuah sekolah bebas berasrama untuk anak usia TK hingga SMA yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neill pada tahun 1921 di Jerman yang kemudian pindah ke Inggris dan terus berdiri hingga sekarang. Summerhill menerapkan prinsip swakelola (self-government) bagi para murid dan staf untuk bebas belajar atau tidak, bebas bermain-main selama berhari-hari atau berminggu-minggu atau bertahun-tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama atau moral atau politik, bebas dari pembentukan karakter (Neill: 31).

Neill telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan pada sekitar tahun 1920-an hingga akhir hayatnya pada tahun 1973. Pandangannya terhadap dunia pendidikan dipengaruhi oleh paham psikologi yang ditekuninya. Dalam pandangan Neill, pada dasarnya tidak ada anak yang jahat. Yang ada adalah para orangtua bermasalah, guru-guru bermasalah, dan sekolah-sekolah bermasalah yang melahirkan anak-anak bermasalah. Sekolah-sekolah yang lazim ada tak ubahnya seperti barak militer bagi Neill. Sekolah mencetak manusia-manusia yang takut kepada guru, orang tua, terlebih kepada hidup. Guru-guru yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya menempatkan diri mereka sebagai dewa yang patut ditakuti dan dituruti. Terdapat jurang pemisah yang sengaja diciptakan guru kepada muridnya. Ketertiban menjadi kunci pegangan mereka dalam mendidik murid-murid. Otoritas diktator semacam itu akan membuat anak-anak merasa inferior sepanjang hidup mereka; dan setelah dewasa kelakdan menjadi guru, mereka akan menyalin otoritas guru dengan otoritas bos (Neill: 33). Para guru tak menyadari apa yang tersembunyi di balik ketertiban dan pembentukan karakter yang mereka terapkan, dan bahkan kebanyakan guru tak mau tahu. Salah satu tugas guru menurut Neill adalah menghapus psikologi massa yang membuat semua orang bersuara sama, hanya bisa mengembik seperti kambing.

Pendidikan harus menghasilkan anak-anak sebagai individu sekaligus anggota masyarakat, dan Neill mempercayakan praktik swakelola untuk mencapai hal tersebut. Summerhill merupakan pembuktian kepada dunia bahwa sekolah dapat menghilangkan ketakutan murid terhadap guru dan yang terpenting ketakutan murid terhadap dunia. Di Summerhill tidak ada gengsi. Para pengajar maupun staf lainnya dipanggil dengan nama mereka sendiri tanpa embel-embel "Pak" atau "Bu" didepannya. Summerhill menerapkan kebebasan yang sama dan setara bagi seluruh warganya. Setiap murid memiliki hak serta suara yang sama dengan para staf. Murid boleh memprotes guru, begitupun sebaliknya. Kebebasan merupakan wadah yang menaungi itu semua.

Di dalam bukunya, Summerhill School, Neill mendefinisikan psikologi secara baik. Psikologi diartikan oleh Neill sebagai penyembuhan. Penyembuhan dari apa? Bagi Neill penyembuhan dari ketidakbahagiaan. Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri, dan konsekuensinya dia berperang dengan seluruh dunia. Orang dewasa pun demikian. Menurut Neill, tak ada orang bahagia yang senang bikin onar dalam suatu situasi tertentu. Semua kejahatan, semua kebencian, semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan(Neill: 40). Ketidakbahagiaan merusak kehidupan manusia. Neill secara cerdas dan tepat mengurai permasalahan ketidakbahagiaan ini dari anak-anak. Summerhill yang dibangun Neill merupakan tempat dimana ketidakbahagiaan anak-anak disembuhkan dan anak-anak diasuh serta dididik dalam kebahagiaan.

Saat pertama kali Neill mendirikan sekolah ini, ia hanya berpegangan pada satu ide pokok yakni membuat sekolah yang cocok dengan anak-anak, bukan membuat anak-anak cocok dengan sekolah. Summerhill berupaya menciptakan anak-anak yang bebas menjadi diri mereka sendiri. Sehingga segala peraturan, moral, arahan, anjuran yang lazim ada pada sekolah-sekolah lain disingkirkan oleh Summerhill. Keyakinan Neill adalah bahwa setiap anak-anak adalah makhluk yang baik. Selama dibiarkan begitu saja tanpa arahan apapun dari orang dewasa, anak akan berkembang sendiri sejauh kemampuannya.

Seperti apakah kehidupan yang dijalani oleh Summerhill? Pelajaran-pelajaran dipilih secara bebas oleh anak. Anak-anak boleh mengikuti pelajaran atau tidak mengikutinya sesuka mereka, selama yang mereka mau. Walaupun aktivitas belajar di Summerhill tidak penting, namun anak-anak memiliki aktivitas lain diluar seperti berteater, bermusik, bertukang, berkebun, dan lain sebagainya. Summerhill menekankan pemuasan terhadap hasrat bermain anak. Ketika anak-anak telah puas bermain sepanjang hidupnya, disitulah anak-anak akan mulai mengambil tanggung jawab yang lebih besar terhadap hidupnya. Tugas anak adalah melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri-bukan kehidupan yang menurut orangtuanya mesti dijalani. Semua campur tangan orang dewasa hanya akan membuat anak menjadi generasi robot.

Summerhill merupakan sekolah demokratis yang mengedepankan prinsip swakelola. Segala hal yang bertalian dengan kehidupan bersama atau kelompok, diputuskan lewat voting kelompok dalam Rapat Umum pada setiap Minggunya. Setiap warga sekolah memiliki suara yang sama. Tidak ada pengecualian dalam hal ini.

Apa yang telah dibangun oleh Neill dalam wujud Summerhill memberikan makna baru bagi pendidikan. Pendidikan bukanlah sekedar setiap anak belajar berhitung maupun membaca dan mengaktualisasinya dalam kehidupan nyata. Namun, pendidikan lebih dari pada itu. Pendidikan adalah memberikan hati kepada setiap manusia-dalam hal ini setiap anak untuk tumbuh sesuai dengan apa yang ingin dilakukannya. Kebahagiaan menjadi pijakan yang bagus untuk dapat memahami segala hal yang terjadi pada kehidupan ini. Kebahagiaan yang hendak dicapai Neill buka sekedar kebahagiaan bahwa jika kita tamat sekolah maka akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan hidup berkecukupan. Bahagia dalam definisi Neill adalah menerima segala hal yang terjadi dalam hidup dan bersikap lapang dalam menjalankannya.

Antara Laskar Pelangi dan Summerhill

Apa kiranya benang merah yang menghubungkan antara Laskar Pelangi dan Summerhill? Sederhana saja jawabannya: Cinta. Kedua hal tersebut memiliki satu benang merah yang menghubungkan keduanya dalam perspektif pendidikan yaitu kedua hal tersebut dijalankan oleh prinsip cinta. Baik Laskar Pelangi maupun Summerhill menggunakan metode cinta dalam pendidikan untuk menyentuh inti terdalam manusia. Pendidikan yang disampaikan oleh ibu Muslimah maupun apa yang hingga kini dipegang teguh oleh Summerhill adalah bersadarkan cinta.

Terkesan naifkah? Tidak sama sekali. Berbanyak teori mengenai pendidikan salah satunya adalah apa yang dikemukakan oleh Paulo Freire mengenai pendidikan pedagogis yang khas Marxist kurang menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh dunia pendidikan. Memasukkan dalam-dalam pendidikan kedalam wilayah politis yang hanya mengaitkannya sebatas relasi kuasa mereduksi apa yang bisa diperbuat oleh pendidikan secara lebih luas. Poin penting yang seharusnya diperhatikan dalam pendidikan adalah mengedepankan anak-anak sebagai subjek yang belajar, sebagai titik harapan.


Daftar Rujukan:
• Escobar, M ,dkk.1998. Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik. Yogyakarta: LkiS
• Neill, A.S. 2007. Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan. Jakarta: Serambi
• Hirata, Andrea. 2007 (cet.10). Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang

Indonesia Maritim: Kepemimpinan Bervisi Laut

Wilayah Perbatasan Indonesia: Anak Tiri yang Diabaikan
Dalam suatu tulisan agar dapat lolos Kuliah Kerja Nyata (K2N) di beberapa wilayah perbatasan Indonesia, saya mengangkat tentang Sebatik, salah satu wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Permasalahan menarik dari Sebatik adalah wilayahnya yang dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Sebatik bagian utara menjadi milik Malaysia, sementara Sebatik bagian selatan dikuasai oleh Indonesia. Sebatik milik Malaysia dengan Tawau sebagai poros perekonomiannya membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi warga Malaysia. Berbeda dengan Malaysia, Sebatik wilayah Indonesia merupakan kemiskinan yang memprihatinkan. Jalan-jalan rusak, sulit air bersih, tidak tersedianya sarana dan prasarana bagi warga untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya memaksa para warga menjual hasil bumi dan lautnya ke Tawau, Malaysia. Sehingga jangan heran jika di Sebatik mata uang yang digunakan dua, yaitu ringgit dan rupiah.
Berbagai permasalahan tersebut tidak hanya dialami oleh Sebatik, tetapi juga banyak wilayah perbatasan Indonesia yang sebagian besar berupa daerah pesisir. Kemiskinan menjadi asosiasi mutlak yang dilekatkan kepada kehidupan warga wilayah perbatasan maupun pesisir Indonesia. Mereka terisolasi dari banyak kemajuan yang telah dikecap oleh masyarakat perkotaan. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari diusahakan dengan keterbatasan sarana dan kemampuan. Walaupun telah berbanyak pejabat pemerintah mengunjungi wilayah-wilayah ini, namun perbaikan tak jua kunjung hadir. Peningkatan kesejahteraan warga pesisir dan perbatasan rupanya belum menjadi agenda utama Pemerintah.
Beberapa pakar menilai hal tersebut dapat terjadi karena Pemerintah belum berorientasi kepada laut padahal Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Belum termanfaatkannya laut sebagai pemersatu Republik ini membuat pemerataan kesejahteraan menjadi timpang antara kota dan wilayah pesisir dan perbatasan. Sehingga jangan salahkan ketika Sebatik, misalnya bergantung sepenuhnya pada Tawau dan memilih ringgit ketimbang rupiah. Jangan salahkan pula jika sebagian dari mereka mengubah kewarganegaraan karena melihat negara lain lebih dapat menjamin nasib mereka ketimbang negara sendiri.


Kepemimpinan Versi Laut
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki tantangan berat untuk menjaga kesatuan wilayahnya dari berbagai ancaman disintegrasi yang dapat merusak kedaulatan. Pulau-pulau yang tersebar dan dipisahkan oleh laut menjadi permasalahan tersendiri dalam pemenuhan pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Selama ini konsentrasi pembangunan rakyat hanya terletak di pulau-pulau besar Indonesia, seperti pulau Jawa. Hal demikian merupakan salah satu penyebab maraknya urbanisasi ke kota-kota besar. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di wilayah-wilayah subordinat tersebut memicu para warganya untuk mengadu nasib di kota besar demi mengharapkan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Indonesia sebagai sebuah negara maritim merupakan fakta yang tak terbantahkan. Akan tetapi pola pemerintahan yang dijalankan belum berorientasi kepada laut. Menurut Emil Salim, kepemimpinan yang memiliki orientasi kepada laut merupakan model kepemimpinan yang dinamis. Seperti seorang nahkoda memahami betul medan yang dihadapinya, punya wawasan yang luas dan terintegrasi terhadap segala persoalan yang muncul. Sementara bagi beberapa pakar, model kepemimpinan yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia masih sangat berorientasi kepada darat. Pemusatan pembangunan pada wilayah-wilayah tertentu merupakan ciri kepemimpinan model darat. Sehingga banyak wilayah yang belum teroptimalkan dengan baik.
Apa kiranya yang menyebabkan Indonesia belum bervisi kelautan dalam kepemimpinannya? Karena Indonesia masih melihat laut sebagai pembeda, bukan pemersatu kedaulatan bangsa. Menurut Prof. Dr. Andre A. Hardjana, MA, laut merupakan suatu misteri pemikiran serta membangun kepercayaan baik pada ilmu pengetahuan maupun pada diri sendiri. Pandangan demikian melahirkan kepemimpinan yang pantang menyerah, tegar dan tegas serta menciptakan persatuan dan kesatuan karena memiliki kepekaan dalam menghadapi setiap situasi baru yang ditemukan.


Laut sebagai Pemersatu Bangsa
Mengapa banyak terjadi kasus yang memicu disintegrasi bangsa? Mengapa pulau Sipadan dan Ligitan tak berhasil dipertahankan Indonesia? Mengapa warga diperbatasan sampai ada yang mengubah kewarganegaraan? Serta masih banyak pertanyaan mengapa yang menunggu untuk dijawab lewat solusi konkret Pemerintah.
Indonesia merupakan negara yang luas lautan lebih besar daripada luas daratannya. Pemanfaatan optimal terhadap laut belum dilaksanakan Pemerintah. Berbagai sumber daya alam yang terkandung didalamnya justru kini banyak dikuasai oleh asing. Pembangunan wilayah pesisir dan perbatasan terabaikan. Semua ini karena selain Indonesia belum bervisi kelautan dalam kepemimpinannya, namun juga karena laut masih dianggap sebagai pemisah bukan sebagai penghubung antar pulau.
Sejarah lampau Indonesia seperti pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang bervisi laut serta menganggap laut sebagai penghubung dan penyatu antar wilayah membuka sekat-sekat perbedaan yang ada. Arus komunikasi yang dinamis antar pulau membuka peluang bagi persebaran budaya maupun pemerataan ekonomi. Hasil laut dan bumi tersebar kesegala penjuru negeri dan pemenuhan kebutuhan tercukupi dengan baik.
Saat laut dipandang sebagai pemersatu, maka disitu mulai terbuka kesempatan bagi tiap-tiap wilayah di Indonesia untuk mengembangkan potensinya masing-masing. Lewat arus transportasi kelautan yang jelas dan merata, perbaikan ekonomi tiap wilayah memungkinkan. Setiap wilayah memiliki sumber daya yang berbeda. Masing-masing warga akan mengolah hasil sumber daya wilayah mereka baik dari laut maupun darat untuk kemudian didistribusikan ke wilayah lain. Tidak hanya dalam bidang pemenuhan kebutuhan serta pemanfaatan hasil sumber daya yang membaik, tetapi arus informasi pun menyebar luas. Terjadi pencampurbauran budaya antar tiap-tiap wilayah yang mengakibatkan akulturasi budaya. Masing-masing wilayah bersinggungan budayanya satu sama lain karena aktifitas pelayaran yang dinamis. Mereka akan mulai belajar dan memahami kebudayaan lain sehingga kerukunan maupun sikap toleransi tak mustahil tercipta. Keterbukaan macam ini niscaya akan semakin memperkokoh kesatuan dan persatuan Republik Indonesia.
Pemanfaatan laut secara tepat dengan visi kepemimpinan yang berorientasi laut mampu membawa pemerataan kesejahteraan tiap-tiap wilayah. Ketimpangan yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di kota besar akan tereduksh perlahan seiring pemanfaatan laut yang tepat guna. Semangat otonomi daerah, tiap-tiap wilayah dapat mengembangkan wilayahnya masing-masing sesuai dengan ciri masyarakat dan sumber daya alam yang dimilikinya. Namun hal ini perlu diikuti dengan kesadaran Pemerintah Daerah untuk berorientasi pada laut dan mengedepankan kemajuan wilayah serta masyarakatnya ketimbang mengedepankan kesejahteraan diri sendiri dan golongan tertentu. Sehingga berbagai macam pertanyaan mengapa yang menghantui Indonesia terkait dengan kebijakan yang dijalankan dapat terselesaikan dengan baik.
Tak perlu lagi ada warga negara Indonesia yang berganti kewarganegaraan karena negara tidak memperhatikan kesejahteraan warganya. Tak perlu lagi ada pulau-pulau lain di Indonesia yang diklaim pihak lain. Tak perlu ada kerjasama asing yang ternyata menyengsarakan rakyat jika rakyat dapat diberdayakan dan dipercayakan untuk mengolah sumber dayanya masing-masing. Dan tak perlu lagi ada kelompok separatis yang mengancam kedaulatan jika Pemerintah dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang sama bagi seluruh warga negaranya.

Selasa, 05 Oktober 2010

Rahasia Kecil

Coba kau lihat dunia lewat bagaimana aku memandang sekelilingku
Aku melihat bangunan tua berbentuk kotak dengan dua tingkat,
tapi diatas atapnya menempel iklan baris elektronik
Janggal tapi menarik
Aku melihat rumah-rumah maupun bangunan lain sepanjang perjalanan di dalam kereta
Sebagian tampak kumuh dengan pencahayaan temaram dan aku berdiri menyambut angin didalam kereta, gelap lampu mati
Syahdu
Aku melihat sebuah taman cantik penuh bunga warna-warni dan rumput hijau yang dipangkas rapi
Bersama teman, kita asyik berpose dan kamera mengabadikan momen menyenangkan kita
Fantastis!
Aku melihat seseorang tanpa sengaja menjatuhkan selembar uang sepuluh ribu dan aku memberitahunya, "Mas, uangnya jatuh"
Menggelitik dan hadir rasa puas dalam diriku
Aku ingat berbincang renyah di toilet dengan teman saat kita sama-sama sedang buang air
Katarsis
Aku menyantap sepotong ayam goreng tepung di meja kantin fakultas bersama teman-teman
Nikmat
Aku berjalan bersama teman-teman melewati taman dengan aroma rumput yang khas baru dipangkas
Membicarakan apakah rumput memiliki kesadaran layaknya manusia
Merencanakan menghabiskan malam disekitaran Senen dan diakhiri dengan makan durian bersama
Memikirkan apa yang hendak dijalani saat sudah tak bersama-sama seperti sekarang
Aku menikmati suasana stasiun yang pada pukul tujuh lewat begitu lengang dan angin berhembus pelan
Aku terjebak kemacetan dijalan menuju rumah
Bising kendaraan saling berlomba memperebutkan posisi pertama sebagai pihak yang tak sabaran
Terhimpit didalam penuh sesaknya kendaraan umum
Aku melihat dan melintas sambil lalu para pedagang diputaran Kampung Melayu menuju Tebet,
seolah jalan raya berubah rupa menjadi pasar aneka barang
Aku melihat banyak hal, menikmati segala rasa, setiap momen yang bergerak cepat seperti dalam film
Dunia dalam pandangku begitu indah
Luar biasa!
Penuh warna, bentuk dan simfoni keseharian yang begitu mengharukan
Ada kebahagiaan dan rasa syukur pada setiap jeda kesadaran terhadap hidup
Begitu biasa-biasa saja ternyata tanpa mimpi-mimpi muluk
Apakah telah kau lihat dan pahami dunia lewat bagaimana aku memandangnya?
Kita menjalani banyak hal sekali waktu
Tujuan menjadi garis akhir yang seolah menahan kita bergelut dalam proses
Kecewakah kau dengan apa yang telah terjadi pada hidupmu yang biasa-biasa saja?
Kuberi tahu kau satu rahasia kecil, kawan
Hidup kita tidak banal, tergantung bagaimana kau memandangnya

Minggu, 03 Oktober 2010

Wilde

Satu fragmen itu amat berkesan. Di depan nisan Oscar Wilde mereka memperdebatkan masalah sepele; komedi. Si gadis butuh komedi dari tunangannya yang menganggap komedi bukan hal penting. Bagi si pria, komedi cuma buang-buang waktu, suatu kekonyolan akut, begitu kekanak-kanakan. Si gadis tersinggung luar biasa. Baginya komedi merupakan prinsip. Hidupnya butuh komedi. Tidak bisa ditawar-tawar. Kemudian ia pun menghampiri nisan Wilde dan mengecupnya kuat-kuat hingga meninggalkan bekas kecupan yang juga telah banyak memenuhi nisan Wilde dari gadis-gadis yang begitu mengaguminya. Setelah mencium nisan Wilde si gadis itu pergi dengan kesal. Tinggallah si pria yang terheran-heran, tak habis pikir. Tiba-tiba Wilde muncul dihadapan si pria dan bertanya santai, "Apa kau mencintainya? Apa hidupmu akan baik-baik saja tanpa dia? Kejarlah! Cepat, sebelum terlambat!"

Si pria menyusul kekasihnya. Ia baru menyadari bahwa hidup tanpa kekasihnya adalah hampa. Gadis itu adalah komedi yang mesti hadir dalam hidupnya. Suatu keharusan yang wajib ada.

Disinilah aku berada. Di depan layar televisi menonton film dan menghela napas panjang. Rasanya pusing dan begitu berat. Aku sendirian. Begitu menyiksa. Ingin kabur dari pikiranku sendiri tapi tak mungkin, kecuali aku mati atau hilang ingatan. Aku kembali menghela napas panjang. Ya, dalam hidup mesti hadir komedi. Agar jiwa tak kering kerontang, tak kehausan seperti berada ditengah sahara. Tapi rasanya hidupku lebih kepada komidi putar ketimbang komedi. Aku hidup dalam komidi yang terus berputar. Bagai dalam sebuah karnaval penuh warna-warni cerah, penuh balon, badut dan sebuah komidi putar dengan kuda-kuda cantik. Tiap hari aku duduk tenang diatas kuda berwarna biru, bersiap menunggu komidi putarku berputar dan melarutkanku didalamnya. Hingga pusing, hingga gaduh, dan aku terbang ke angkasa. Namun saak komidiku berhenti berputar, kegaduhanku pun ikut terhenti. Aku kembali sendiri dan lagi-lagi mesti berpikir. Berpikir tentang semua hal.

Aku punya rahasia kecil. Diam-diam aku menyimpan foto Oscar Wilde. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Wajahnya yang biasa saja, kedua sorot matanya yang dalam, dagunya yang panjang, rambut coklat sebahunya begitu memesonaku. Tak sekedar itu, karya-karyanya begitu sederhana. Happy Prince, A Women of No Importance, A Picture of Dorian Gray, ... Oh, semuanya begitu sedehana, biasa saja tetapi kaya makna akan kehidupan. Aku sungguh mengaguminya. Bahkan hampir memujanya. Aku melihat komedi berkejar-kejaran diantara kata-katanya, melihat cinta dari setiap lembar karya yang kubaca. Seolah-olah ia mengajakku menyusuri samudera hidup yang demikian dalam. Membisikkanku kata-kata yang menenangkan. Menguatkanku saat komidi putar yang selalu kunaiki berhenti berputar dan aku sendirian.

"Apakah kau mampu hidup tanpa dia? Apakah kau mampu menghadapi dirimu sendirian tanpa dia yang mencintaimu sepenuh hati? Apakah kau mampu hidup tanpa komedi?" bisiknya lembut ditelingaku.

Mampukah aku sendiri tanpa komedi lagi, Wilde? Aku muak dengan kesendirianku, tetapi melepaskannya dan maju satu langkah kedepan menuju dia? Aku tidak tahu. Rasanya aku belum siap. Aku takut dia tak dapat menerima diriku sepenuhnya. Ibarat bulan, itulah aku. Dari jauh indah tak terperi. Sinarnya yang jernih menentramkan siapa pun yang memandanginya. Seolah-olah keindahan terpatri bersamanya. Mereka sering tidak mau tahu jika permukaan bulan dari dekat sangat jelek sekali. Hanya pengunungan pasir, danau pasir, bolong-bolong. Tidak ada apa-apa disana. Tak ada sejumput keindahan yang bisa ditangktp dari jarak dekat. Mereka pun akan mendengus kesal karena tak mendapatkan apa-apa. Tak ada komedi dalam kesendirian. Semuanya samar-samar.

Aku tak mampu, Wilde. Aku tak mampu hidup dikeduanya. Tolong rasuki aku, Wilde. Bakarlah sekam yang ada dalam jiwaku. Buat aku berkobar lagi. Undang kembali hidupku yang penuh suka cita dalam putaran komedi. Sertakan aku dalam kunjungan imajinasimu. Kau adalah pecinta komedi, begitu pun aku. Komediku tertinggal dimasa lalu saat rasa syukur mengelilingiku setiap waktu. Saat cinta pada hidup menguatkanku untuk terus tersenyum. Kesedihan adalah ruang bawah tanah yang kukunci rapat-rapat. Hidupku benar-benar sebuah karnaval penuh warna warni cerah, balon dan badut. Aku ingin ramai didalamnya dan kesendirian hanyalah sebatas usaha mengistirahatkan diri dari penat sekejab. Begitu menyenangkan berbaur dalam komedi. Tapi aku tak lagi mampu, Wilde. Komediku tertinggal dimasa lalu dan kesendirian sebuah kepenatan penuh rasa sesal dan marah. Aku rapuh, Wilde. Serapuh hati pangeran bahagiamu.

Jumat, 24 September 2010

Hidup ini Masih Indah

Tanpamu tidak lagi mengapa
Dahulu kita saling merangkai kisah
kini tidak lagi
Seperti hari-hari yang terus kujalani
Ada yang mesti kuikhlasi; Kau

Hidup ini indah
Kuyakini sepenuh hati
Ada banyak hari setelah kau pergi
dan aku terus belajar banyak
mengenai rasa syukur

Tak kudapatkan emas permata, rumah mewah,
mobil mentereng pun jabatan adikuasa
Hanya begini saja
dengan orang-orang yang kusayang
berbagi kisah hari ini
Tertawa, saling meledek dan cerita mengalir begitu saja
Melapangkan hati yang butuh pengertian
Hanya begini saja dengan segenggam buku cerita klasik ditangan
ataupun sekedar memejamkan mata, tertidur
mimpi indah

Tanpamu tidak lagi mengapa
Hidup ini masih tetap sama indahnya